Terima Kasih

Terima kasih atas waktu luang anda membaca tulisan ini,... semoga ada manfaatnya....

Yang Mengikuti,....

23 Juni 2009

MENGHINA ORANG DAN MELIHAT ORANG SUSAH

Ada cerita yang menarik dalam obrolan kami beberapa waktu yang lalu (terhadap teman yang sudah lama tidak bertemu), dia bercerita tentang banyak hal tetapi ada ucapan yang selalu saya ingat. Ada 2 kenikmatan yang melebihi kenikmatan apapun di dunia yaitu
  1. Menghina orang. Betapa terkejutnya saya ketika beliau mengatakan itu. Dalam hati sempat berkata sudah gila nih orang atau sudah terlalu lama di Amerika jadi terpengaruh Bush Syndrome. Beliau menjelaskan kepada saya tentang arti menghina orang. Beliau bercerita, selama pulang di Indonesia kerjanya adalah menonton siaran televisi dan semua channel ditonton untuk menghabiskan waktu sehari-harinya. Dia menceritakan bagaimana lucu dan ironisnya acara TV (maaf kalau disebutkan) seperti Empat Mata (Tukul), Super-super.... (Indosiar), berita infotainment dan lain-lain. Tetapi fokusnya adalah 2 acara yang disebutkan, dimana bagamana lucu dan puasnya kita tertawa ketika menyaksikan orang-orang yang ada di acara itu saling menghina, meledek secara halus maupun vulgar dan kita menikmati itu dengan tertawa keras/terbahak-bahak sampai perut kita kesakitan bahkan sampai mengeluarkan air mata. Dan ini bukan hanya di media TV tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ini kenikamatan yang tiada duanya melebihi kenikmatan menjadi orang kaya, paling punya uang tinggal beli ini itu dan sudah serta tidak sampai anggota tubuh kita dari kepala sampai kaki menikmati kebahagian saat menghina orang. Buktinya rating di TV tinggi melebihi acara sinetron dan lain-lain.
  2. Melihat orang susah. Contoh yang diberikan adalah suatu berita dimana sesorang motivator membagi bagikan uangnya melalui pesawat terbang kepada rakyat miskin di Serang Banten, Lihat, seorang motivator betapa menikmati ketika membagi-bagikan uang di udara sambil tertawa-tawa. Kemudian contoh yang lain adalah ketika kondisi ekonomi yang sedang susah akibat kenaikan BBM, pengangguran yang semakin banyak (sebagai indikator banyak pengangguran yang paling mudah adalah banyak manusia usia produktif yang ikut demo, nongkrong di perempatan jalan dan lain-lain), harga-harga bahan pokok seperti beras, telur, minyak goreng yang ikut naik tanpa disertai kenaikan pendapatan tetapi elit-elit di pucuk kekuasaan masih bisa tertawa-tawa, terus korupsi sampai ketahuan, acara-acara pernikahan anak pejabat dan selebritis yang mewah sementara lingkungan disekitarnya masih ada yang minta-minta dan kelaparan sehingga sudahlah itu yang dinamakan kenikmatan dunia. Bahkan katanya kadangkala kita sering ngomel kepada pengemis dan dengan bangganya mengatakan orang masih gagah, sehat, produktif kok dan lain-lain minta-minta tanpa pernah bertanya alasan mereka melakukan itu. Dan contoh yang paling sering dilihat adalah ketika orang kesandung dan terjerembab di depan kita kadang-kadang kita tertawa dan hanya bisa melihat saja tanpa berusaha menolong. Pengendara motor yang berseliweran tanpa mengindahkan keselamatan dirinya dan orang lain layaknya menjadi raja yang menikmati kekuasaan diwilayah kerajaannya eh jalan maksudnya adalah contoh yang diberikan.
Setelah mendengar cerita itu, saya langsung, otak ini berpikir apa maksudnya dan melalui perenungan sesaat akhirnya saya tertawa terbahak-bahak melihat kegalauan tentang apa yang dilihat selama kembali ke Indonesia (rupanya lama sudah tidak tinggal di Indonesia) dan saya katakan tidak semua orang Indonesia seperti itu dan masih banyak yang baik.
Tetapi kalau mau sedikit jured (jujur dan edan) kepada diri sendiri dan kita kerap menikmati 2 kenikmatan dunia tersebut diatas baik sengaja maupun tidak disengaja. Bukti yang gampang adalah saya tertawa saat teman galau dan bingung terhadap tertawa terbahak-bahaknya saya. Bahkan ketika orang bodoh bertanya tentang suatu yang mudah dijawab oleh kita tetapi karena orang bodoh ini tidak tahu kita pun tertawa menikmati kesusahan dan kebodohan orang bodoh (dalam hati mengatakan bodoh amat nih orang). Nah inilah cerita tentang kedua orang bodoh yang sedang memahami tentang 2 kenikmatan dunia.
Renungkanlah!

22 Juni 2009

ANAK

Seorang ibu memiliki satu orang putra dan dua orang putri. Sejak kecil ia selalu membedakan kasih sayang antara putra dengan putri-putrinya. Ia kerap memarahi putranya hanya karena kesalahan sepele. Tak pernah ia bersenda gurau dengannya. Jika putranya menanyakan sesuatu karena keingintahuannya sebagai anak kecil, ibunya selalu menjawab tidak tahu, bahkan seringkali ibunya diam seolah-olah tak mendengar.
Sementara kedua putrinya mendapat limpahan kasih sayang, selalu mendapat mainan baru, pakaian baru. Bahkan makan pun dengan lauk yang lebih banyak daripada putranya. Ibunya hanya bergurau dan bermain dengan putri-putrinya, selalu menjawab pertanyaan mereka. Akhirnya sang putra tumbuh sebagai anak yang pemurung..
Hingga di suatu masa, setelah ketiganya menikah tinggallah sang ibu seorang diri. Kedua putrinya jarang menengoknya karena tinggal di luar kota. Hanya sang putra yang rutin menjenguknya, membawakan makan siang, membawakan seplastik buah-buahan, dll. Namun sang ibu tetap bersikap seperti biasanya, cuek dan dingin.
Pada saat sang ibu mulai sakit-sakitan, sang putra membawanya ke rumahnya, merawatnya, memenuhi segala permintaannya. Kedua putrinya hanya menjenguknya seminggu sekali.
Dan pada akhirnya saat ibunya semakin renta, menjelang kematiannya, ia bertanya pada putranya.
"Mengapa kamu tetap bersikap baik bahkan merawatku meski sikapku sangat tidak menyenangkan padamu?"
Sang putra menjawab,
"Karena kau adalah ibuku, yang telah mengandungku, melahirkan aku, menyusuiku, dan membesarkan aku. Apapu yang kulakukan tak kan mampu mengembalikan setiap tetes darahmu yang mengalir dalam darahku. Yang bisa kulakukan hanyalah berbakti kepadamu."
Menangislah sang ibu..menyesal, lalu ia berdoa, "Ya Allah Kau telah memberiku tiga orang anak. Kusayangi yang dua dan kusia-siakan yang satu. Padahal kau telah menjadikan yang satu ini sebagai anak yang berbakti padaku. Maka ampunkanlah segala dosanya, rahmatilah hidupnya dan berkahilah jalannya. Sesungguhnya dialah anak yang akan mendoakan aku, maka perkenankanlah doanya..."
Setelah berdoa sang ibu mencium kening putranya, sesaat kemudian ia pun meninggal dunia.

Berapapun anak yang kita miliki, kita tak akan tahu yang manakah yang akan tulus menyayangi kita, yang akan berbakti kepada kita dan yang akan mendoakan kita setelah kita meninggal. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan rezki dari Allah ini. Kita didik mereka semampu kita. Hasilnya kita pasrahkan pada Allah SWT.

19 Juni 2009

KEPERAWANAN

Kiriman teman..
Siapa tau ada member milis yang tertarik membeli..


Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima . Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk dilounge yang agak di pojok.

Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi, wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya.

Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa.

Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya: " Maaf, nona … Apakah anda sedang menunggu seseorang? " Tidak! " Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.

" Lantas untuk apa anda duduk disini?
" Apakah tidak boleh? " Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam.

" Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami." " Maksud, bapak?

" Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini "
" Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang.
Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk disini untuk sesuatu yang akan saya jual " Kata wanita itu dengan suara lambat.

" Jual? Apakah anda menjual sesuatu disini? "

Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.

" Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ". " Saya ingin menjual diri saya, " Kata wanita itu dengan tegas sambil
menatap dalam dalam kearah petugas satpam itu.

Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan. " Mari ikut saya, " Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya.

Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada secuil senyum diwajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu.

Di koridor hotel itu terdapat korsi yang hanya untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.

" Apakah anda serius? "
" Saya serius " Jawab wanita itu tegas.
" Berapa tarif yang anda minta? "
" Setinggi tingginya..' '

" Mengapa? Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.
" Saya masih perawan "

" Perawan? " Sekarang petugas satpam itu benar benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.. Pikirnya

" Bagaimana saya tahu anda masih perawan?"
" Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan. Ya kan …"

" Kalau tidak terbukti?
" Tidak usah bayar …"

" Baiklah …" Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.
" Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan anda. "
" Cobalah. "

" Berapa tarif yang diminta? "
" Setinggi tingginya. "
" Berapa? "
" Setinggi tingginya. Saya tidak tahu berapa? "

" Baiklah. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya. "

Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.

Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.

" Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta. Bagaimana? ". " Tidak adakah yang lebih tinggi? "
" Ini termasuk yang tertinggi, " Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.
" Saya ingin yang lebih tinggi…"
" Baiklah. Tunggu disini …" Petugas satpam itu berlalu..

Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.

" Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana? "

" Tidak adakah yang lebih tinggi? "

" Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau andai perawan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya
anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama sama butuh … "

" Saya ingin tawaran tertinggi … " Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu.

Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.

" Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya.
Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit. Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli. " Kata petugas satpam itu dengan agak kesal.

Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift.

Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.

" Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? " Kata petugas satpam itu dengan sopan.

Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama kesekujur tubuh wanita itu …

" Berapa? " Tanya pria itu kepada Wanita itu.
" Setinggi tingginya " Jawab wanita itu dengan tegas.
" Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? " Kata pria itu
kepada sang petugas satpam.
" Rp. 6 juta, tuan "
" Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam. "

Wanita itu terdiam.

Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari wanita itu.

" Bagaimana? " tanya pria itu.
"Saya ingin lebih tinggi lagi …" Kata wanita itu.

Petugas satpam itu tersenyum kecut.

" Bawa pergi wanita ini. " Kata pria itu kepada petugas satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.

" Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? "
" Tentu! "
" Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu … "
" Saya minta yang lebih tinggi lagi …"

Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang. Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya..

" Kalau begitu, kamu tunggu ditempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. "

Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudah sekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun,tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya.

" Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup? Terdengar suara pria itu berbicara. Wajah pria itu nampak masam seketika
" Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu.
Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! "

Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita.
Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan diwajah pria itu.

Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu: " Pak, apakah anda butuh wanita … ??? "

Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.

" Ada wanita yang duduk disana, " Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi.

Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.
" Dia masih perawan.."

Pria itu mendekati petugas satpam itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter. " Benarkah itu? ". " Benar, pak. "
" Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu … "
" Dengan senang hati. Tapi, pak …Wanita itu minta harga setinggi tingginya."
" Saya tidak peduli … " Pria itu menjawab dengan tegas.

Pria itu menyalami hangat wanita itu.
" Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang
seriuslah …" Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.

" Mari kita bicara dikamar saja." Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu.

Wanita itu mengikuti pria itu menuju kamarnya.

Di dalam kamar …

" Beritahu berapa harga yang kamu minta? "
" Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit "
" Maksud kamu? "
" Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk
kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterimakasih …. "
" Hanya itu …"
" Ya …! "

Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani ditengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa dihadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai.
Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.

" Siapa nama kamu? "
" Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar … " Kata wanita itu
" Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. "
"Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! "

" Ada ! Kata pria itu seketika.

" Sebutkan! "

" Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu. Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu kerumah sakit.
Dan sekarang pulanglah … " Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari
dalam tas kerjanya.

" Saya tidak mengerti …"

" Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya. Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterimakasih.Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terimakasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya.
Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar …"

" Dan, apakah bapak ikhlas…? "
" Apakah uang itu kurang? "
" Lebih dari cukup, pak … "

" Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? "
" Silahkan …"

" Mengapa kamu begitu beraninya … "

" Siapa bilang saya berani. Saya takut pak …
Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya kerumah sakit dan semuanya gagal. Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` … Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan … "

" Keyakinan apa? "

" Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Allah lah yang akan menjaga kehormatan kita … " Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar.

Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata: " Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini … "

" Kesadaran… "

. . .

Di sebuah rumah dipemukiman kumuh.

Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.

" Kamu sudah pulang, nak "
" Ya, bu … "

" Kemana saja kamu, nak … ???"
" Menjual sesuatu, bu … "

" Apa yang kamu jual?" Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum …

Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi yang tak adalagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Allah selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan …

" Kini saatnya ibu untuk berobat … "
Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: " Allah telah membeli yang saya jual… ".

Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya kedalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi: " Antar kami kerumah sakit …"

--
--

Salam,

11 Juni 2009

"Arti Sebuah Tanggung Jawab"

Suatu hari saya datang ke kantor shiyakusho (city hall) Kyoto untuk mengurus dokumen kependudukan. Dokumen tersebut diperlukan sebagai syarat administrasi sewa rumah di daerah Rokujizo.

Saya sangat terkesan saat berhadapan dengan petugas shiyakusho, yang notabene adalah pegawai pemerintah (PNS). Ketika itu, saya minta sertifikat kependudukan lima lembar untuk lima anggota keluarga saya, dia bilang "kenapa musti lima lembar? Ini kan bisa dijadikan satu saja".

Meski sebenarnya saya sudah diwanti-wanti oleh petugas kantor perumahan agar bawa lima lembar, namun akhirnya saya menuruti usul petugas shiyakusho tadi, karena itu lebih efisien, bayarnya hanya selembar saja yaitu 350 yen (Rp 40.000/lembar) , jauh lebih murah dibanding harus bayar untuk lima lembar sertifikat.

Sekembalinya ke kantor perumahan, ternyata mereka tidak mau menerima dokumen yang saya bawa, karena dokumennya tidak sesuai dengan yang mereka perlukan. Kemudian petugas perumahan tersebut meminta saya kembali lagi ke kantor shiyakusho.

Sesampainya di shiyakusho, petugasnya langsung menelpon kantor perumahan. Dalam pembicaraan yang sempat saya dengar, orang shiyakusho tersebut mendebat orang perumahan mengenai persyaratan yang memberatkan warganya. Dia bilang, "kalau bisa dijadikan satu kenapa harus lima?" Menariknya lagi, orang shiyakusho bilang bahwa dengan lima lembar, akan memboroskan uang konsumen.

Diakhir pembicaraan, akhirnya orang shiyakusho menang. Keputusannya adalah cukup satu lembar sertifikat saja dengan sedikit revisi. Setelah dicetak, petugas shiyakusho memberikan dokumen revisi tersebut tanpa harus bayar lagi. Saya bersyukur karena biaya yang dikeluarkan jadi berkurang.

Ada yang membuat kagum, ketika pamit dari kantor shiyakusho, petugasnya meminta maaf sambil membungkuk beberapa kali karena telah membuat saya dua kali datang ke kantor tesebut.

Sampai disitu saya tertegun. Ini pegawai shiyakusho sangat "luar biasa". Dia bisa saja menuruti kemauan dari orang perumahan dengan mencetak sertifikat lima lembar. Urusannya akan jadi cepat beres, tidak perlu menelpon, tidak perlu berdebat dan pemasukan buat kantor shiyakusho akan lebih banyak.

Itulah yang ada dibenak saya seandainya saya ada di posisi dia. Tapi di luar dugaan, ternyata dia tidak begitu, dia lebih memilih untuk membela kepentingan warganya sampai berhasil. Bagi dia, tanggung jawab sebagai pamong yaitu "pelayan masyarakat" harus dikedepankan dan ditunjukkan pada saat seperti itu.

Pembaca yang budiman,

Sulit rasanya menemukan orang yang seperti petugas shiyakusho tadi, di negeri kita yang tercinta. Sering kita jumpai, hal-hal yang harusnya gampang malah dipersulit, sehingga urusan tersebut menjadi panjang dan memakan biaya. Padahal rosululloh telah bersabda "permudahlah urusan orang jangan dipersulit!"

Hari itu saya mendapatkan pelajaran "arti sebuah tanggung jawab" dan bagaimana menjadi seorang pelayan masyarakat yang baik. Semoga kita bisa menjadi orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugas/amanah. Selebihnya, mudah-mudahan kita bisa membantu dan mempermudah urusan orang lain.
Amien.

Mohon maaf kalau tidak berkenan.

Kiriman dari : El by Lisman Suryanegara

Jawaban Sederhana Penuh Makna

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan anak-anak yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik - rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini. Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat.

Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ..", secara serempak dan kompak anak - anak menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini. "Man (kependekan dari Paman panggilan untuk tukang) kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu paman pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?"

"Iya pak, Paman sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Paman hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Paman, mana yang menjadi hak Orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita - cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. .?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari paman dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, paman selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena paman ingin menyempurnakan agama yang paman pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu,untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar.
Maka Paman berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Paman harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Paman dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si Paman tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki. Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut :
"Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Iya menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Paman justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri.
Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita definisikan diri sendiri, "mampu", maka insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".

Sahabat....
Cerita ini sangat sederhana. Semoga memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita. Amin


Cerita Oleh : Dede Farhan Aulawi
Mudahan Saya sekeluaga pun menjadi orang yang "mampu" seperti paman bakso tersebut

10 Juni 2009

Ibu yang Kaya tapi Miskin

Berikut ini sebuah kisah tentang ibu yang kaya materi dan pretasi, tetapi miskin kasih sayang dan perhatian untuk anaknya. Kisah ini saya dapat dari seorang teman via e-mail. Semoga bisa mengingatkan kita.

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin Anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putra saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami..
Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak
Begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah
ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun.
Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal..
Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini.
Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja.

Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka.

Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih.
Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka.
Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya.

Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik.
Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan.
Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? .

Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan.Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.

Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba.
Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga.

Waktu itu Bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya .. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.

Pengorbanan Bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, Bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika Bik Inah di Rumah Sakit.

Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar Bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.

Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya Bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa Bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren.

Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak Bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta . Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.


Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis :
"Ya Tuhan kenapa Bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Tuhan, Maya kangen banget sama bik Inah" bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan Bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya.

Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya.
Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "Ya Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu".

Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

Salam Nira.

Dari Multiply.com

Naik Gaji (Terinspirasi gaji ke 13)

Suatu pagi seorang pegawai memutuskan untuk menghadap atasannya menyampaikan maksud hati dan segala uneg-unegnya untuk meminta kenaikan gaji. Atasannya kemudian tertawa, mempersilahkannya untuk duduk dan berkata, "Ha... ha... ha..., dengar kawan, anda itu bahkan belum bekerja untuk perusahaan ini meskipun satu hari! Masa sekarang mau minta naik gaji?"

Tentu saja sang pegawai sangat terkejut mendengar hal itu namun atasannya segera meneruskan.. .

Atasan : "Coba katakan ada berapa hari dalam setahun?"
Pegawai: "365 hari dan kadang-kadang 366 hari."
Atasan : "Betul, sekarang ada berapa jam dalam sehari?"
Pegawai: "24 jam."
Atasan: "Berapa jam kamu bekerja dalam sehari?"
Pegawai: "Dari jam 08:00 s/d 16:00 jadi 8 jam sehari."
Atasan : "Jadi, berapa bagian dari harimu yang kamu pakai bekerja?"
Pegawai: "(mulai ngitung dalam hati... 8/24 jam = 1/3) Sepertiga!"
Atasan : "Wah pinter kamu! Sekarang berapakah 1/3 dari 366 hari?"
Pegawai: "122 (1/3×366 = 122 hari)."
Atasan : "Apakah kamu bekerja pada hari Sabtu dan Minggu?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Berapa jumlah hari Sabtu dan Minggu dalam setahun?"
Pegawai: "52 hari Sabtu ditambah 52 hari Minggu = 104 hari."
Atasan : "Nah, kalau kamu kurangkan 104 hari dari 122 hari, berapa yang tinggal?"
Pegawai: "18 hari."
Atasan : "Nah, saya sudah kasih kamu 12 hari cuti tiap tahun... Sekarang kurangkan 12 hari dari 18 hari yang
tersisa itu berapa hari yang tinggal?"
Pegawai: "6 hari."
Atasan : "Di hari Idul Fitri dan Idul Adha apakah kamu bekerja?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Jadi sekarang berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "4 hari."
Atasan : "Di hari Natal dan Tahun Baru apakah kamu bekerja?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Jadi sekarang berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "2 hari."
Atasan : "Sekarang sisa tersebut kurangi dengan Libur Waisak, Imlek, Nyepi, 1 Muharram, Maulid Nabi, Isra' Mikraj, Wafat Yesus, Kenaikan Isa Almasih, Proklamasi.. ., berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "??? Gak ada sisa, Pak."
Atasan : "Jadi sekarang anda mau menuntut apa?"
Pegawai: "Saya mengerti pak, sekarang saya sadar bahwa selama ini saya sudah makan gaji buta dengan tidak bekerja sedikit pun. Saya minta maaf, Pak."
Atasan : "Ya udah sana dan jangan coba-coba minta naik gaji lagi yah!"



Sumber : ppikyotonet@yahoogroups.com