Terima Kasih

Terima kasih atas waktu luang anda membaca tulisan ini,... semoga ada manfaatnya....

Yang Mengikuti,....

10 Juni 2009

Ibu yang Kaya tapi Miskin

Berikut ini sebuah kisah tentang ibu yang kaya materi dan pretasi, tetapi miskin kasih sayang dan perhatian untuk anaknya. Kisah ini saya dapat dari seorang teman via e-mail. Semoga bisa mengingatkan kita.

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin Anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putra saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami..
Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak
Begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah
ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun.
Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal..
Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini.
Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja.

Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka.

Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih.
Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka.
Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya.

Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik.
Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan.
Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? .

Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan.Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.

Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba.
Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga.

Waktu itu Bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya .. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.

Pengorbanan Bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, Bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika Bik Inah di Rumah Sakit.

Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar Bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.

Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya Bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa Bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren.

Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak Bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta . Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.


Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis :
"Ya Tuhan kenapa Bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Tuhan, Maya kangen banget sama bik Inah" bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan Bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya.

Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya.
Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "Ya Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu".

Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

Salam Nira.

Dari Multiply.com

Naik Gaji (Terinspirasi gaji ke 13)

Suatu pagi seorang pegawai memutuskan untuk menghadap atasannya menyampaikan maksud hati dan segala uneg-unegnya untuk meminta kenaikan gaji. Atasannya kemudian tertawa, mempersilahkannya untuk duduk dan berkata, "Ha... ha... ha..., dengar kawan, anda itu bahkan belum bekerja untuk perusahaan ini meskipun satu hari! Masa sekarang mau minta naik gaji?"

Tentu saja sang pegawai sangat terkejut mendengar hal itu namun atasannya segera meneruskan.. .

Atasan : "Coba katakan ada berapa hari dalam setahun?"
Pegawai: "365 hari dan kadang-kadang 366 hari."
Atasan : "Betul, sekarang ada berapa jam dalam sehari?"
Pegawai: "24 jam."
Atasan: "Berapa jam kamu bekerja dalam sehari?"
Pegawai: "Dari jam 08:00 s/d 16:00 jadi 8 jam sehari."
Atasan : "Jadi, berapa bagian dari harimu yang kamu pakai bekerja?"
Pegawai: "(mulai ngitung dalam hati... 8/24 jam = 1/3) Sepertiga!"
Atasan : "Wah pinter kamu! Sekarang berapakah 1/3 dari 366 hari?"
Pegawai: "122 (1/3×366 = 122 hari)."
Atasan : "Apakah kamu bekerja pada hari Sabtu dan Minggu?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Berapa jumlah hari Sabtu dan Minggu dalam setahun?"
Pegawai: "52 hari Sabtu ditambah 52 hari Minggu = 104 hari."
Atasan : "Nah, kalau kamu kurangkan 104 hari dari 122 hari, berapa yang tinggal?"
Pegawai: "18 hari."
Atasan : "Nah, saya sudah kasih kamu 12 hari cuti tiap tahun... Sekarang kurangkan 12 hari dari 18 hari yang
tersisa itu berapa hari yang tinggal?"
Pegawai: "6 hari."
Atasan : "Di hari Idul Fitri dan Idul Adha apakah kamu bekerja?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Jadi sekarang berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "4 hari."
Atasan : "Di hari Natal dan Tahun Baru apakah kamu bekerja?"
Pegawai: "Tidak, Pak!"
Atasan : "Jadi sekarang berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "2 hari."
Atasan : "Sekarang sisa tersebut kurangi dengan Libur Waisak, Imlek, Nyepi, 1 Muharram, Maulid Nabi, Isra' Mikraj, Wafat Yesus, Kenaikan Isa Almasih, Proklamasi.. ., berapa hari yang tersisa?"
Pegawai: "??? Gak ada sisa, Pak."
Atasan : "Jadi sekarang anda mau menuntut apa?"
Pegawai: "Saya mengerti pak, sekarang saya sadar bahwa selama ini saya sudah makan gaji buta dengan tidak bekerja sedikit pun. Saya minta maaf, Pak."
Atasan : "Ya udah sana dan jangan coba-coba minta naik gaji lagi yah!"



Sumber : ppikyotonet@yahoogroups.com